pasgif1

Rabu, 03 Juni 2009

Pembinaan Napi Kurang Terstruktur

Beberapa narapidana warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) IIB Ciamis tampak sibuk. Di lorong sempit antara kamar dan bengkel kayu di jalan menuju masjid, mereka sedang membuat keset. Bahannya terbuat dari sabut kelapa yang dianyam. Setelah itu, dilindas dengan roda besi supaya anyaman merapat, dan hasilnya lebih kencang tanpa ada lengkungan-lengkungan.

Mereka sepertinya sudah ahli melakukannya. Tidak ada kesulitan. "Membuatnya mudah. Belajarnya ya dari yang lain saja," kata salah seorang dari mereka.

Tidak ada metode pengajaran khusus. Yang sudah mahir, mengajari yang belum bisa. Pengawas memberi petunjuk jika ada kesulitan.

Di dalam bengkel kayu, dua orang sedang menghaluskan kayu yang sudah berubah wujud menjadi lemari dan meja. Hasil pekerjaannya sangat halus, persis yang dibuat seorang ahli.

Kesibukan membuat mebel seperti itu tergantung pada pesanan. Kalau pesanan sedang banyak, mereka sibuk. Seorang napi yang sedang menghaluskan sisi lemari besar itu menggeleng saat ditanya siapa yang memesan lemari itu. Ia bertugas mengerjakan, soal pesan-memesan bukan urusannya.

Sang pendamping mengatakan, keset buatan napi LP Ciamis sudah cukup dikenal. Beberapa bank swasta dan rumah makan sudah menggunakan keset produksi LP Ciamis. Prestasi ini terdengar menggembirakan.

Seorang napi yang sedang merapikan keset yang hampir jadi hanya tersenyum saat ditanya apakah setelah keluar dari LP akan menjadikan kegiatan ini sebagai profesinya kelak. Tampak ia merasa ragu dan enggan memberi jawaban, barangkali napi itu tidak yakin apakah bisa melakukan kegiatan serupa setelah menghirup udara bebas.

Namun, ada juga yang berhasil. Menurut Kepala LP Ciamis, Wahid Husen, seorang "alumni" LP Ciamis saat ini berhasil mengembangkan bisnis mebel hasil didikan di LP. "Sekarang dia sudah sukses. Usahanya maju. Barangkali dia salah satu yang sukses," katanya.

Hal serupa juga terjadi di LP Sukamiskin dan LP Narkoba Banceuy. Di Sukamiskin, terpidana kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir, Policarpus ternyata bisa membagi ilmu membuat minuman jahe instan kepada warga binaan lain. "Selain ahli masalah pesawat, dia juga bisa membuat jahe instan. Ini kita adopsi agar ilmunya dapat diserap warga binaan lain," ujar Pelaksana Tugas (Plt). Kepala LP Sukamiskin, Sunarhadi Hartadi.

Sunar menambahkan, pembinaan dalam LP hanyalah sebagian dari proses para warga binaan sebelum kembali ke masyarakat. Namun ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu peran masyarakat. "Sebaik atau sepiawai apapun pembinaan di LP, jika masyarakat tidak mendukung tetap saja mantan napi sulit berasimilasi kembali," ungkapnya

Sementara di LP Banceuy, meski materi yang diberikan terbilang cukup baik, pembinaan terkendala masalah over-capacity. "Jumlah warga binaan yang terlalu banyak membuat minat dan bakat napi tidak tersalurkan secara maksimal. Di sini ada seribu lebih warga binaan, sedangkan pembina yang bertugas hanya enam orang," ungkap Ilham Djaya, Kepala LP Banceuy.

Kendati demikian, kata dia, secara keseluruhan keterampilan yang diberikan cukup memberikan manfaat bagi para napi untuk bisa mencari nafkah setelah kembali ke masyarakat. "Banyak mantan warga binaan di sini yang membuka usaha jahit-menjahit atau membuat papan catur. Itu bisa mencegah mereka agar tidak mengulangi kesalahan mereka di waktu lalu," tutur Ilham.

**

Sesuai visinya, menjadikan manusia mandiri, sudah seharusnya LP mempunyai pola pembinaan yang mendorong terwujudnya tujuan itu.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) Jawa Barat, Dedi Sutardi menjelaskan, pola pembinaan di LP melewati beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah sepertiga awal masa hukuman yang disebut admisi orientasi. Masa itu digunakan untuk pengenalan. Dilanjutkan masa pembauran dengan masyarakat atau yang disebut dengan asimilasi. Dan setelah menjalani 2/3 masa hukumannya, seorang napi bisa mendapatkan haknya melalui pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas. Setelah itu pembinaan dilanjutkan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). "Pembinaannya dilakukan secara berkesinambungan. Sejak pertama masuk sampai bebas," kata Dedi.

Dedi menambahkan, berbagai kegiatan diberikan kepada mereka. Selain bersifat jasmani, juga rohani. Misalnya, kegiatan keagamaan, olah raga, juga berbagai jenis ketrampilan. Sayangnya, berbagai kegiatan tersebut masih terkendala fasilitas. Minimnya sarana dan prasarana membuat kegiatan itu tidak bisa berkembang optimal.

Pengamat LP dari Pasca Sarjana Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Agun Gunanjar meragukan pola pembinaan tersebut berjalan baik. "Pada saat asimilasi, ini masa uji coba karena tujuannya nanti akan dikembalikan di masyarakat. Misalnya dia anak sekolah, dicoba untuk kembali bersekolah. Pagi sekolah, nanti jam enam sore kembali ke dalam. Kalau sudah punya ketrampilan, dia berlatih ketrampilan di luar. Di dalam latihan bengkel, dia coba bengkel di luar. Tidak usah digaji, dicoba dulu kerja di luar. Apakah itu jalan? Tidak, karena masyarakatnya masih curiga," tuturnya.

Pada tahapan yang lain, menurutnya, juga tidak berjalan baik karena keterbatasan ruang dan anggaran. Ia mencontohkan, saat ini masih banyak tahanan ataupun napi anak dan wanita yang ditempatkan di LP yang sama dengan pria dewasa. Sehingga pola pembinaannya pun tidak bersifat khusus. Pola pembinaannya sama-sama saja. Mutasi ke LP anak dan wanita terkendala dengan anggaran dan keberatan pihak keluarga. Maklum, tidak semua provinsi sudah memiliki LP anak ataupun wanita. Sehingga ketika dipindah, keluarga tidak bisa lagi leluasa menjenguk karena jaraknya jauh. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk menjenguknya.

Agun mengatakan, hal itu menyebabkan LP terjerumus pada pembinaan yang tidak terstruktur dengan baik. Di samping anggaran untuk menyelenggarakan pembinaan yang lebih berbobot tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Kegiatan yang muncul pada akhirnya hanya sekedar mengisi waktu ketimbang ketrampilan produktif yang pada akhirnya bisa membawa mereka menjadi pribadi yang mandiri.

"Akhirnya yang dilakukan apa? Ngobrol dan ngumpul. Dalam kondisi yang penat itu, punya pengetahuan apa dengan begitu, kecuali pengetahuan mencuri atau mencongkel," tutur Agun.

Ini juga membahayakan bagi napi dan tahanan anak yang berada di LP yang sama dengan tahanan dan napi dewasa. Memang mereka terpisah blok, namun masih ada kesempatan dan waktu yang memungkinkan terjadi komunikasi antara anak-anak dan dewasa.

Itu sebabnya banyak yang tidak percaya dengan sistem pembinaan di dalam pemasyarakatan. Bahkan ada anggapan LP tak ubahnya seperti sekolah bagi pelaku kriminal. Kalau semula hanya mencuri ayam, setelah masuk LP ia punya ilmu baru untuk mencuri sapi.

Kurang berjalannya pembinaan bagi napi dan tahanan tidak sepenuhnya dipikul oleh LP. Masyarakat pun harus ikut bertanggung jawab. Sebab, ada kalanya masyarakat tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk merubah diri.

Salah satu contoh, pada saat asimilasi, para napi itu dicoba untuk dikembalikan ke masyarakat. Bisa melalui lapangan kerja, bisa juga sekolah. Tapi tidak banyak lapangan kerja yang mau menampung mereka. Sekolah pun lebih sering mengeluarkan siswanya yang sedang mendekam di LP. "Partisipasi masyarakat dalam pemasyarakatan masih kurang sekali," kata Agun.

Dedi berharap partisipasi masyarakat ini bisa ditingkatkan. Terlebih setelah napi sudah benar-benar bebas. Bantuan masyarakat sangat diperlukan. Langkah itu diawali dengan menghilangkan stigma yang dilekatkan pada "almuni" LP. "Karena mereka dari masyarakat kembali ke masyarakat. Kalau diasingkan, mereka akan berbuat yang tidak-tidak lagi," katanya.

**

Dari sisi pembinaan, LP juga masih harus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Selama ini, seringkali penambahan pegawai difokuskan pada petugas keamanan. Padahal kebutuhannya lebih dari itu. "Kita membutuhkan juga ahli-ahli yang bisa menangani tahanan dan napi. Misalnya psikolog, pekerja sosial, atau juga tenaga pendidik atau konselor yang bisa memberikan penanganan khusus pada mereka," tutur Wahid Husen, Kepala LP Ciamis.

Hal itu menjadi penting, sebab tinggal di dalam LP merupakan tekanan tersendiri. Sehingga seseorang akan mudah cemas, tingkat kekhawatiran tinggi, serta kehilangan kepercayaan diri. Oleh sebab itu, penting juga memperhatikan aspek-aspek psikologisnya. "Sehingga di dalam LP tidak hanya disiapkan ketrampilan tetapi juga berusaha membangun kepercayaan diri mereka kembali," ujarnya.

Senada dengannya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Dephukham, Untung Sugiyono juga sepakat peningkatan sumber daya manusia merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk lebih mengkhususkan pembinaan di LP. "Secara kelembagaan sudah ada LP narkotika, anak dan wanita. Ternyata dalam struktur tidak terlalu berbeda dengan LP biasa. Tentu ini bagaimana mengubah struktur yang selama ini ada. Tidak mudah, tetapi harus berani. Terkait dengan peningkatan SDM, sekarang juga sedang membuat remunerasi yang ideal," tuturnya. (Catur Ratna Wulandari/Handri Handriansyah/"PR")***

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=70699

Comments :

0 komentar to “Pembinaan Napi Kurang Terstruktur”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by BALAI PEMASYARAKATAN KLAS II BOGOR