pasgif1

Kamis, 25 Juni 2009

Bapas Core Pemasyarakatan

Selasa, 08 Juli 2008

Jakarta, hukumham.info— Balai Pemasyarakatan (Bapas) merupakan core (inti) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).

Ini karena, dalam praktiknya bapas berperan sejak seseorang ditangkap oleh penyidik dan sudah berstatus sebagai tersangka, proses pemeriksaan di pengadilan, pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) sampai klien menjalani pembimbingan di luar lapas atau di tengah-tengah masyarakat.

“Bapas berperan mendampingi klien dari proses penyelidikan, pembinaan, hingga akhirnya kembali lagi ke masyarakat,” kata Humas Pemasyarakatan M. Akbar Hadi Prabowo di Jakarta (04/07).

Pada saat penyelidikan, petugas Bapas atau yang biasa disebut Petugas Pembimbing Kemasyarakatan, membuat laporan Penelitian Kemasyarakatan untuk memberikan pertimbangan kepada polisi dalam hal penyelidikan, kepada jaksa dalam penuntutan dan hakim saat pemeriksaan di pengadilan. Sehingga dari laporan tersebut, dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal.

Petugas pembimbing pemasyarakatan juga mendampingi klien. “Petugas pembimbing mendampingi terdakwa hingga jatuhnya putusan pengadilan selesai. Namun, hal ini hanya terjadi dengan klien anak. Diharapkan hal ini juga terjadi dengan klien dewasa,” jelas Akbar.

Kemudian, lanjut Akbar, petugas Bapas juga berperan dalam penempatan kamar dan kegiatan yang akan lakukan oleh napi yang baru masuk ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).

”Bapas membuat laporan data tentang napi, baik kebiasaannya, dan penyakit yang diderita. Sehingga napi yang lain tidak terganggu dengan kebiasaan dan penyakit dari napi yang baru masuk, dan juga sebaliknya ,” lanjut Akbar.

Lebih lanjut Akbar menerangkan, bahwa Bapas juga berperan dalam proses pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB), dan asimilasi. “Pada saat dua per tiga menjelang dari masa pidana. Bapas membuat penelitian dengan terjun ke lapangan di mana napi tinggal, untuk memperoleh data tanggapan keluarga, masyarakat, dan pemerintah setempat apabila napi kembali ke masyarakat,” tandas Akbar.

Contohnya kasus Sumanto. Saat menjelang bebas, petugas Bapas membuat penelitian ke masyarakat, apakah masyarakat dapat menerima kembali atau tidak. Dalam kasus ini, masyarakat memilih untuk tidak menerima. Sehingga bapas mengambil keputusan untuk ditempatkan di pondok pesantren.

Salah satu contoh kasus yang sukses ditangani oleh Bapas adalah penanganan kasus yang terjadi di Bapas Bandung. Dimana petugas pembimbing berhasil menyakinkan hakim agar seorang klien anak yang terlibat tindakan asusila dibimbing di pesantren. Karena hukuman tindak pidana tidak sesuai dan belum tentu bisa merubah prilaku anak tersebut. Setelah dibimbing pesantren, si anak menyadari kesalahannya dan merubah prilakunya. ***

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=1030&Itemid=43


Read More......

Minggu, 07 Juni 2009

PERANAN BAPAS DALAM MENANGANI ANAK SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PIHAK PENEGAK HUKUM TERKAIT

Peranan BAPAS dalam perkara anak

Ditulis oleh bangopick di/pada Februari 9, 2008
Oleh: Gunarto,Ssos, SH.I. PENDAHULUAN

Pelaksanaan system Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri. Sistem Peradilan pidana dalam kerangka system merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hokum pidana dan menjagaq ketertiban social, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas, Rutan dan Cabang Rutan. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling dukung mendukung secara sinergis hingga tujuan dari bekerjanya system peradilan pidana tersebut dapat dicapai.


Salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan system peradilan pidana tersebut dilaksanakan oleh Balai Pemasayrakatan (BAPAS) yang merupakan bagian dari kegiatan sub system pemasyarakatan narapidana atau sub-sub system peradilan pidana. Namun demikian keberadaan dan peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tersebut sering diabaikan atau bahkan tidak diketahui oleh sub system yang lain dalam system peradilan pidana. Keadaan pengabaian atau tidak diketahuinya Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tersebut tentu saja akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan system peradilan pidana secara keseluruhan. Dimana Balai Pemasyarakatan (BAPAS) merupakan bagian dari system Tata Peradilan, mempunyai tugas melaksanakan pembimbing dan mendampingi anak nakal dlam proses Peradilan Anak.

II. DASAR HUKUM

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) pranata untuk melaksanakan Bimbingan Kemasyarakatan Pengentasan Anak dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya berdasar pada:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Undang-Undang RI No.12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
3. Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak
4. Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
5. PP.RI. No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
6. PP. RI. No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
7. PP. Ri. No.57 Tahun 1999 Tentang Kerja sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
8. PP.RI No.58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Carqa Pelaksanaan Tugas dan Tangggungjawab Perawatan Tahanan.
9. Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 Tentang Nomenklatur Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
10. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01.PK.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Masyarakat.
11. Keputusan Menteri Kehakiman RI. No.01.PK.04.10 Tahun 1999 Tentang Assimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
12. Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.01.PK.03.02 Tahun 2001 Tentang Cuti Mengunjungi Keluarga bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
13. Petunjuk Pelaksanaan Menteri Kehakiman RI. No. E-39. PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan
14. Petuynjuk Teknis Menteri Kehakiman RI No. E.40.PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.

III. KEDUDUKAN HUKUM BAPAS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Kedudukan hokum dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam peraturan perundangan Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 4 di rumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Adapun Klien Pemasyarakatan dirumuskan sebagai seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Pasal 1 angka 9).

Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 namanya diubah menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) untuk disesuaikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Rumusan pasal-pasal tersebut diatas tentu saja belum memberikan kejelasan peran dari BAPAS. Penjabaran dari peran BAPAS tersebut dapat disimak pada Peraturan Pemerintahg No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 6 Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembimbingan klien pemasyarakatan disebut sebagai pembimbing Kemasyarakatan. Dengan demikian didalam tugasnya melakukan pembimnbingan terhadap klien pemasyarakatan.


A. PERAN BAPAS DALAM PERLINDUNGAN ANAK


Sebagaimana diketahui bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hokum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang meliputi :

1. Non Diskriminasi
2. Kepentingan yang terbaik untuk anak
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
4. Penghargaan terhadap anak

Berdasarkan prinsip-porinsip tersebut, baik anak yang berhadapan dengan hokum, Balai Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai kekuatan untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melaui rekomendasi dalam Penelitian Kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan.

Pembimbingan Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan tehnis yang disandang oleh petugas pemasyarakatan di BAPAS dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Dengan peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarkatan (PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:

1. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar siding anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).

2. Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.


Pada Pasal 55, 57 dan 58 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 terdapat rumusan tentang Pembimbing Kemasyarakatan bahkan kewajibannya untuk hadir dalam siding anak. Pada Pasal 56 diatur kewajiban Hakim untuk memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang akan disidangkan sebelum siding dibuka. Pada Pasal 59 (2) mewajibkan kepada hakim dalam putusannya untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sudah harus dimulai semenjak proses penyidikan. Dalam Pasal 42 (2) penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran pembimbingan kemasyarakatan.

B. PERTIMBANGAN DAN SARAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DAN MANFAATNYA

Hasil utama dari pelaksanaan tugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam perkara anak nakal adalah laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang no.3 Tahun 1997) yang berisi:

1. Data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan social anak
2. Kesimpulan data pendapat dari pembimbing kemasyarakatan

Manfaat dari laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal 59 ayat 2 Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitain kemasyarakatan tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi (Pasal 23) atau mengambil tindakan (Pasal 24).Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja. Dikaitkan dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 16 dirumuskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan anatara lain penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Seyogyanya anak yang berkonflik dengan hokum tidak dijatuhi pidana, apabila anak dijatuhi pidana maka hak-hak lain dari anak yang dijamin oleh undang-undang dan pertumbuhan anak akan dapat terganggu. Selain itu diketahui pula bahwa tempat pendidikan atau pembinaan anak yang terbaik adalah keluarganya. Apabila keluarganya tidak mampu mendidik anak, maka banyak alternative pengganti keluarga yang dapat diberi tugas untuk pembimbingan anak yang sesuai dengan system social Indonesia yaitu kerabat keluarga besarnya.


IV. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Penanganan anak yang berkonflik dengan hokum saat ini belum dapat dilaksanakan secara terpadu oleh aparat penegak hokum yang terkait dengan tugas-tugas Balai Pemasyarakatan, sehingga satu sama lainnya belum dapat melaksanakan ketentuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan masih terkesan adanya penonjolan kepentingan masing-masing aparat. Maka upaya untuk belum terpadu antar penegak hokum dalam penanganan masalah anak, sehingga program lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, belum dapat diwujudkan karena system Peradilan Anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara terpadu, sehingga muncul permasalahan-permasalahan:

1. Belum adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum maupun yang terkait dalam proses persidangan anak dalam rangka mencari solusi terbaik guna kepentingan terbaik bagi anak
2. Belum semua anak yang berkonflik dengan hokum yang diteliti oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dan disidangkan di pengadilan melibatkan PK dari Balai Pemasyarakatan, serta belum sepenuhnya hasil litmas dijadikan bahan pertimbangan untuk mencari solusi terbaik bagi anak.
3. Belum dilaksanakan secara menyeluruh dari pasal-pasal yang termuat dalam Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, karena masih adanya perbedaan persepsi yang sama terhadap undang-undang tersebut diantara penegak hokum dalam menanganai anak yang berkonflik dengan hokum.


V. KESIMPULAN

1. Proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum (pidana) dimana anak sebagi pelaku, maka peran orang tua/wali, penasehat hokum, polisi, jaksa dan hakim serta BAPAS adalah merupakan satu system yang saling relevan untuk terlaksananya dan di lindunginya hak-hak anak dalam proses peradilan anak.
2. Penuntutan anak anakal harus bertujuan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang dan disisi lain penuntutan juga harus memperhatikan kepentingan anak korban, keluarga dan masyarakat.

VI. PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas, maka peran BAPAS yang terutama berhubungan dengan pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan akan terkait dengan para penegak hokum lain, yang meliputi petugas pemasyarakatan dari Lapas, polisi, jaksa dan hakim. Dengan memahami peran, tugas dan kewajiban BAPAS yang merupakan salah satu sub-sub system dalam system peradilan pidana, maka diharapkan bahwa penghukuman merupakan upaya terakhir. Cirinya adalahsedikit mungkin tersangka dijatuhi hukuman penjara, sebanyak mungkin pemberian saksi non penjara.

@ SEMOGA BERMANFAAT @
http://bangopick.wordpress.com/2008/02/09/peranan-bapas-dalam-perkara-anak/

Read More......

Rabu, 03 Juni 2009

Pembinaan Napi Kurang Terstruktur

Beberapa narapidana warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) IIB Ciamis tampak sibuk. Di lorong sempit antara kamar dan bengkel kayu di jalan menuju masjid, mereka sedang membuat keset. Bahannya terbuat dari sabut kelapa yang dianyam. Setelah itu, dilindas dengan roda besi supaya anyaman merapat, dan hasilnya lebih kencang tanpa ada lengkungan-lengkungan.

Mereka sepertinya sudah ahli melakukannya. Tidak ada kesulitan. "Membuatnya mudah. Belajarnya ya dari yang lain saja," kata salah seorang dari mereka.

Tidak ada metode pengajaran khusus. Yang sudah mahir, mengajari yang belum bisa. Pengawas memberi petunjuk jika ada kesulitan.

Di dalam bengkel kayu, dua orang sedang menghaluskan kayu yang sudah berubah wujud menjadi lemari dan meja. Hasil pekerjaannya sangat halus, persis yang dibuat seorang ahli.

Kesibukan membuat mebel seperti itu tergantung pada pesanan. Kalau pesanan sedang banyak, mereka sibuk. Seorang napi yang sedang menghaluskan sisi lemari besar itu menggeleng saat ditanya siapa yang memesan lemari itu. Ia bertugas mengerjakan, soal pesan-memesan bukan urusannya.

Sang pendamping mengatakan, keset buatan napi LP Ciamis sudah cukup dikenal. Beberapa bank swasta dan rumah makan sudah menggunakan keset produksi LP Ciamis. Prestasi ini terdengar menggembirakan.

Seorang napi yang sedang merapikan keset yang hampir jadi hanya tersenyum saat ditanya apakah setelah keluar dari LP akan menjadikan kegiatan ini sebagai profesinya kelak. Tampak ia merasa ragu dan enggan memberi jawaban, barangkali napi itu tidak yakin apakah bisa melakukan kegiatan serupa setelah menghirup udara bebas.

Namun, ada juga yang berhasil. Menurut Kepala LP Ciamis, Wahid Husen, seorang "alumni" LP Ciamis saat ini berhasil mengembangkan bisnis mebel hasil didikan di LP. "Sekarang dia sudah sukses. Usahanya maju. Barangkali dia salah satu yang sukses," katanya.

Hal serupa juga terjadi di LP Sukamiskin dan LP Narkoba Banceuy. Di Sukamiskin, terpidana kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir, Policarpus ternyata bisa membagi ilmu membuat minuman jahe instan kepada warga binaan lain. "Selain ahli masalah pesawat, dia juga bisa membuat jahe instan. Ini kita adopsi agar ilmunya dapat diserap warga binaan lain," ujar Pelaksana Tugas (Plt). Kepala LP Sukamiskin, Sunarhadi Hartadi.

Sunar menambahkan, pembinaan dalam LP hanyalah sebagian dari proses para warga binaan sebelum kembali ke masyarakat. Namun ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu peran masyarakat. "Sebaik atau sepiawai apapun pembinaan di LP, jika masyarakat tidak mendukung tetap saja mantan napi sulit berasimilasi kembali," ungkapnya

Sementara di LP Banceuy, meski materi yang diberikan terbilang cukup baik, pembinaan terkendala masalah over-capacity. "Jumlah warga binaan yang terlalu banyak membuat minat dan bakat napi tidak tersalurkan secara maksimal. Di sini ada seribu lebih warga binaan, sedangkan pembina yang bertugas hanya enam orang," ungkap Ilham Djaya, Kepala LP Banceuy.

Kendati demikian, kata dia, secara keseluruhan keterampilan yang diberikan cukup memberikan manfaat bagi para napi untuk bisa mencari nafkah setelah kembali ke masyarakat. "Banyak mantan warga binaan di sini yang membuka usaha jahit-menjahit atau membuat papan catur. Itu bisa mencegah mereka agar tidak mengulangi kesalahan mereka di waktu lalu," tutur Ilham.

**

Sesuai visinya, menjadikan manusia mandiri, sudah seharusnya LP mempunyai pola pembinaan yang mendorong terwujudnya tujuan itu.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) Jawa Barat, Dedi Sutardi menjelaskan, pola pembinaan di LP melewati beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah sepertiga awal masa hukuman yang disebut admisi orientasi. Masa itu digunakan untuk pengenalan. Dilanjutkan masa pembauran dengan masyarakat atau yang disebut dengan asimilasi. Dan setelah menjalani 2/3 masa hukumannya, seorang napi bisa mendapatkan haknya melalui pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas. Setelah itu pembinaan dilanjutkan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). "Pembinaannya dilakukan secara berkesinambungan. Sejak pertama masuk sampai bebas," kata Dedi.

Dedi menambahkan, berbagai kegiatan diberikan kepada mereka. Selain bersifat jasmani, juga rohani. Misalnya, kegiatan keagamaan, olah raga, juga berbagai jenis ketrampilan. Sayangnya, berbagai kegiatan tersebut masih terkendala fasilitas. Minimnya sarana dan prasarana membuat kegiatan itu tidak bisa berkembang optimal.

Pengamat LP dari Pasca Sarjana Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Agun Gunanjar meragukan pola pembinaan tersebut berjalan baik. "Pada saat asimilasi, ini masa uji coba karena tujuannya nanti akan dikembalikan di masyarakat. Misalnya dia anak sekolah, dicoba untuk kembali bersekolah. Pagi sekolah, nanti jam enam sore kembali ke dalam. Kalau sudah punya ketrampilan, dia berlatih ketrampilan di luar. Di dalam latihan bengkel, dia coba bengkel di luar. Tidak usah digaji, dicoba dulu kerja di luar. Apakah itu jalan? Tidak, karena masyarakatnya masih curiga," tuturnya.

Pada tahapan yang lain, menurutnya, juga tidak berjalan baik karena keterbatasan ruang dan anggaran. Ia mencontohkan, saat ini masih banyak tahanan ataupun napi anak dan wanita yang ditempatkan di LP yang sama dengan pria dewasa. Sehingga pola pembinaannya pun tidak bersifat khusus. Pola pembinaannya sama-sama saja. Mutasi ke LP anak dan wanita terkendala dengan anggaran dan keberatan pihak keluarga. Maklum, tidak semua provinsi sudah memiliki LP anak ataupun wanita. Sehingga ketika dipindah, keluarga tidak bisa lagi leluasa menjenguk karena jaraknya jauh. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk menjenguknya.

Agun mengatakan, hal itu menyebabkan LP terjerumus pada pembinaan yang tidak terstruktur dengan baik. Di samping anggaran untuk menyelenggarakan pembinaan yang lebih berbobot tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Kegiatan yang muncul pada akhirnya hanya sekedar mengisi waktu ketimbang ketrampilan produktif yang pada akhirnya bisa membawa mereka menjadi pribadi yang mandiri.

"Akhirnya yang dilakukan apa? Ngobrol dan ngumpul. Dalam kondisi yang penat itu, punya pengetahuan apa dengan begitu, kecuali pengetahuan mencuri atau mencongkel," tutur Agun.

Ini juga membahayakan bagi napi dan tahanan anak yang berada di LP yang sama dengan tahanan dan napi dewasa. Memang mereka terpisah blok, namun masih ada kesempatan dan waktu yang memungkinkan terjadi komunikasi antara anak-anak dan dewasa.

Itu sebabnya banyak yang tidak percaya dengan sistem pembinaan di dalam pemasyarakatan. Bahkan ada anggapan LP tak ubahnya seperti sekolah bagi pelaku kriminal. Kalau semula hanya mencuri ayam, setelah masuk LP ia punya ilmu baru untuk mencuri sapi.

Kurang berjalannya pembinaan bagi napi dan tahanan tidak sepenuhnya dipikul oleh LP. Masyarakat pun harus ikut bertanggung jawab. Sebab, ada kalanya masyarakat tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk merubah diri.

Salah satu contoh, pada saat asimilasi, para napi itu dicoba untuk dikembalikan ke masyarakat. Bisa melalui lapangan kerja, bisa juga sekolah. Tapi tidak banyak lapangan kerja yang mau menampung mereka. Sekolah pun lebih sering mengeluarkan siswanya yang sedang mendekam di LP. "Partisipasi masyarakat dalam pemasyarakatan masih kurang sekali," kata Agun.

Dedi berharap partisipasi masyarakat ini bisa ditingkatkan. Terlebih setelah napi sudah benar-benar bebas. Bantuan masyarakat sangat diperlukan. Langkah itu diawali dengan menghilangkan stigma yang dilekatkan pada "almuni" LP. "Karena mereka dari masyarakat kembali ke masyarakat. Kalau diasingkan, mereka akan berbuat yang tidak-tidak lagi," katanya.

**

Dari sisi pembinaan, LP juga masih harus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Selama ini, seringkali penambahan pegawai difokuskan pada petugas keamanan. Padahal kebutuhannya lebih dari itu. "Kita membutuhkan juga ahli-ahli yang bisa menangani tahanan dan napi. Misalnya psikolog, pekerja sosial, atau juga tenaga pendidik atau konselor yang bisa memberikan penanganan khusus pada mereka," tutur Wahid Husen, Kepala LP Ciamis.

Hal itu menjadi penting, sebab tinggal di dalam LP merupakan tekanan tersendiri. Sehingga seseorang akan mudah cemas, tingkat kekhawatiran tinggi, serta kehilangan kepercayaan diri. Oleh sebab itu, penting juga memperhatikan aspek-aspek psikologisnya. "Sehingga di dalam LP tidak hanya disiapkan ketrampilan tetapi juga berusaha membangun kepercayaan diri mereka kembali," ujarnya.

Senada dengannya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Dephukham, Untung Sugiyono juga sepakat peningkatan sumber daya manusia merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk lebih mengkhususkan pembinaan di LP. "Secara kelembagaan sudah ada LP narkotika, anak dan wanita. Ternyata dalam struktur tidak terlalu berbeda dengan LP biasa. Tentu ini bagaimana mengubah struktur yang selama ini ada. Tidak mudah, tetapi harus berani. Terkait dengan peningkatan SDM, sekarang juga sedang membuat remunerasi yang ideal," tuturnya. (Catur Ratna Wulandari/Handri Handriansyah/"PR")***

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=70699

Read More......

Followers

 

Copyright © 2009 by BALAI PEMASYARAKATAN KLAS II BOGOR